ARTIKEL PINTASAN

Saturday, April 15, 2017

Ikan Lele dan Keberadaan Zakir Naik


Saya punya kolam kecil di depan rumah. Isinya ikan lele. Suatu waktu, saya membeli ikan lele baru di pasar. Hanya dua ekor. Geraknya sangat gesit dan lincah.
Ikan lele baru itu saya masukkan ke dalam kolam. Lalu apa yang terjadi? Ikan-ikan di kolam justru ribut. Gerak riuh. Ke sana ke sini tak jelas juntrungannya. Ada pula beberapa di antaranya yang lompat.
Dari sini dapat dipahami, ketenangan dapat terusik dari kehadiran yang baru. Tatanan dapat terusik karena adanya mahluk yang datang tidak sesuai dengan mahluk yang sudah ada sejak lama. Lele baru itu merusak ketenangan ikan lele saya di kolam.
Setelah memahami itu, saya teringat fenomena Zakir Naik di Indonesia. Ia berceramah ke kota-kota besar. Konon, tujuannya untuk menyampaikan dakwah Islam dalam perspektif ilmu perbandingan agama. Seolah para ulama Indonesia yang berkopeten hal itu tidak ada.
Saya, dan mungkin juga Anda, sudah tahu bahwa ulama-ulama kalangan NU dan Muhammadiyah selama ini menguasai podium-podium umat Islam di Indonesia pada umumnya. Ulama kalangan ini, meski ada yang berbeda, selalu menyampaikan ceramah-ceramah Islam yang kontekstual. Artinya, melihat persoalan sosial agama dari perspektif keberagaman. Baik itu keberagaman sosial kultural maupun keberagaman agamanya. Tidak menyinggung keyakinan umat beragama lain.
Indonesia adalah negara yang dibentuk dari banyak golongan suku, ras, dan agama atau keyakinan. Dari berbagai golongan, pada tahun 1928, Joung Java mengusung konsep persatuan. Tidak terpatri pada satu agama tertentu. Tidak pula terpatri pada satu etnis tertentu. Batas historisitas waktu, bagi kelompok tersebut, tidak jadi soal. Tidak mempermasalahkan siapa lebih dahulu menginjak bumi Nusantara. Yang ada, konsep kekinian yang terbentuk atas kesamaan penderitaan untuk mencapai cita-cita bersama. Cita-cita bersatunya umat antargolongan itu untuk menciptakan negara yang aman, damai, dan sejahtera.
Dari ide persatuan itu kemudian diwujudkan dasar nilai filosofis negara, yakni Pancasila. Pancasila bukan rumusan kalkulasi apalagi rumus matematis. Pancasila bukan cuma susunan bahasa secara sistematis atau EYD belaka. Ada nilai adiluhung yang terkandung di dalamnya. Ada nilai cita-cita, nilai historis, nilai etis, nilai religius, hingga nilai sosial budaya. Maka, menganggap pancasila sebagai rumusan yang salah di dalam konteks ke-Indonesiaan adalah pemikiran yang ahistoris dan tidak proyektif.
Pancasila tidak mengunggulkan satu agama. Pancasila tidak menyalahkan agama yang lain atau berbeda. Pancasila dibentuk dan untuk keberagaman agama. Begitulah mengapa kata yang mewakilinya ialah "tunggal ika", dan bukan "tunggal eka."
//
Saya tidak mengerti apakah Zakir Naik dapat digolongkan sebagai ustaz atau bukan. Mungkin, jika sekadar ustaz secara harfiah masih dapat diterima. Ia sebagai guru, yang berarti guru bagi siapa pun. Guru yang tidak memiliki kompetensi khusus karena tidak bergelut pada keilmuan tersebut selama puluhan tahun atau lebih. Namun, jika konsep ustaz dipahami sebagai orang yang layak mengajarkan Islam, dengan pengalaman durasi yang cukup panjang, tentu masih bersifat debateble.
Zakir Naik bukanlah ulama yang lahir dari dunia pesantren. Bukan pula sesosok yang dibesarkan dari orangtua ulama kondang. Ia pun menempuh pendidikan kedokteran, sarjana dokter (medis) dari University of Mumbai, India. Tahun 1991 ia baru memfokuskan diri sebagai penceramah agama. Artinya, pergulatannya dalam bidang ilmu Islam tidak lebih luas dibandingkan ulama-ulama kompeten di Tanah Air, seperti Quraish Shihab, Buya Syafii, dan lainnya.

Dalam ceramahnya, Zakir Naik memperdebatkan hal ihwal perbedaan Islam dengan agama lainnya, khususnya Kristen dan Yahudi. Ada begitu banyak ulasan inkonsistensi, kengawuran logika, hingga klaim surga dan neraka Zakir Naik. Hampir semua ulasan itu membuktikan bahwa Zakir Naik hanyalah retoris ulung yang tidak patuh pada logika dan tidak filosofis dalam membandingkan agama satu dengan agama lainnya. 
Zakir mengklaim, agamanya adalah agama yang benar, dibandingkan agama lainnya. Ia tak menyentuh agama secara ontologis, secara universal, dan sejenisnya.
Sudah banyak media-media online di Tanah Air yang mengulas keanehan berpikir Zakir Naik. Saya tak perlu membidaninya lagi di sini. Bagi saya, keberadaannya di Indonesia tak layak. Kunjungannya mengancam ketenteraman beragama saya dengan saudara saya yang berbeda agamanya. Tak ubahnya fenomena ikan lele di awal tulisan ini.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes