ARTIKEL PINTASAN

Sunday, April 23, 2017

Anomali Dunia Pendidikan di Yogyakarta

foto: kompasiana.com


Ada semacam anomali dalam sektor pendidikan di Yogyakarta. Di satu sisi pertumbuhan dunia kampus memberi dampak nyata bagi perekonomian. Namun di sisi lain, tradisi karya ilmiah masih kalah bersaing.

Beberapa minggu yang lalu, saya sempat berbincang (wawancara) Ketua DPD REI Yogyakarta, Nur Andi Wijayanto. Dia bilang, pertumbuhan dunia properti di Yogyakarta tidak terlepas dari perkembangan dunia kampus. Di mana kampus tumbuh, di sanalah properti mengikuti. Mahasiswa membutuhkan tempat tinggal, sehingga para pengembang menyabet peluang tersebut. Buktinya, rencana keberadaan kampus baru UIN Sunan Kalijaga diikuti perkembangan properti di sekitarnya.

Andi menjelaskan, selain sektor pendidikan, ada sektor pariwisata. Keduanya sama-sama berdampak. Keduanya juga sama-sama berimplikasi terhadap perputaran ekonomi di lingkungannya.
Begitulah statement faktual pelaku pengembang properti di Yogyakarta. Di sini saya tidak membahas utama soal propertinya. Saya ingin menunjukkan, betapa suburnya perkembangan sektor pendidikan di Yogyakarta. Indikator lainnya, rata penambahan jumlah mahasiswa setiap tahunnya naik 10 persen. Itu artinya, ada penambahan drastis jumlah mahasiswa di Yogyakarta setiap tahun.

Di sisi lain, dunia pendidikan belum membanggakan. Buktinya, tradisi karya ilmiah masih belum diunggulkan. Lembaga-lembaga pemeringkatan universitaa di dunia menempatkan Universitas Gadjah Mada (UGM) di bawah Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Ini artinya tradisi karya ilmiah, yang menjadi indikator penilaian pemeringkatan, di kampus UGM masih kalah saing dengan UI dan ITB.

Di sinilah letak anomalinya. Dunia pendidikan terus berkembang dari segi kuantitas mahasiswanya tapi di sisi lain tidak diikuti tradisi karya ilmiah. Jika dilihat dari jumlah profesornya memang masih belum memadai. Koordinator Kopertis Wilayah V Yogyakarta, Bambang Supriyadi, pertengahan tahun lalu, mengatakan, jumlah guru besar di Yogyakarta masih 35. Jumlah ini tentu sangat kecil. Bayangkan, menurut data Kemenristekdikti, tahun 2015 saja, jumlah guru besar di Indonesia mencapai 5.000-an. Bisa diprediksi, jumlah guru besar di Yogyakarta tahun ini tidak lebih dari 5 persen jumlah secara nasional.
Padahal, Yogyakarta telah dikenal sebagai Kota Pendidikan. Kata ini menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa dan kampus di Yogyakarta cukup besar. Lagi-lagi, istilah ini menjadi bias ketika kampus di Yogyakarta tidak mampu menjadi nomor 1, dalam skala universitas Tanah Air, di tangga pemeringkatan internasional.

Menumbuhkan Tradisi

Di tingkat atas, seperti kepala lektor dan profesor, pemerintah telah berusaha memberi stimulan agar penulisan karya ilmiah meningkat. Kepala lektor dan profesor diberi tunjangan, agar keduanya mampu menciptakan karya ilmiah tanpa terpikirkan masalah ekonomi. Dengan segala konsekuensinya, upaya tersebut dapat diacungi jempol. Terlepas kemungkinan langkah buruk yg ditempuh.

Pertanyaannya, apakah itu dapat meningkatkan tradisi karya ilmiah di Yogyakarta? Apakah upaya itu berdampak terhadap jumlah karya ilmiah di Yogyakarta? Sulit mengatakan "ya" jika jumlah profesor pun masih kecil.

Bukan tidak mungkin para profesor mengajak para mahasiswanya. Entah itu mengajak untuk bertindak secara aktif maupun pasif. Paling tidak, bisa memberi influenze.

Yang perlu dicermati kemudian ialah langkah para dosen menumbuhkan tradisi karya ilmiah mahasiswanya. Mahasiswa adalah potensi. Jumlahnya banyak. Miris sekali jika mahasiswa, baik strata 1, 2, dan 3, hanya membuat satu atau dua karya ilmiah selama kuliahnya.

Mahasiswa juga tak ubahnya kepala lektor dan profesor. Membutuhkan stimulan. Mahasiswa butuh dana sebagai jaminan survive dari kebutuhan hidupnya. Saya memprediksi, 1 dari 5 mahasiswa terdesak kebutuhan hidupnya. Apalagi, nilai kebutuhan hidup di Yogyakarta semakin tinggi setiap tahunnya. Tentu, caranya, mahasiswa mengambil kerja sampingan untuk menutupi kebutuhannya.

Untuk itu, pemerintah atau pihak pengurus universitas selayaknya membuat kebijakan seperti insentif pemerintah kepada kepala lektor dan profesor. Mahasiswa juga membutuhkan dana, agar tidak terseret pada aktivitas dunia pekerjaan di luar kampusnya. Dengan demikian, mahasiswa dapat fokus menciptakan karya ilmiah. Sejalan itu pula, jumlah karya ilmiah di Yogyakarta dapat bersaing, baik nasional maupun internasional.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes