ARTIKEL PINTASAN

Friday, January 27, 2017

Orang-Orang Miskin di Balik Pesona Pantai Gunungkidul





Baru saja Polres Gunungkidul merilis jumlah kasus bunuh diri di wilayah kerjanya. Ada 22 orang yang menewaskan diri sendiri. Jumlah ini terhitung dari Januari hingga Juli 2016 ini. Bukan tidak mungkin jumlah akan bertambah bila dihitung hingga akhir tahun nanti. Bisa melebihi jumlah kasus bunuh diri tertinggi, tahun 2012, yang mencapai 40 kasus.
Ini bukan Jepang. Ini Kabupaten Gunungkidul, salah satu wilayah yang dipimpin Raja Keraton Yogyakarta. Di Jepang, tradisi yang telah lama turun-temurun, bunuh diri adalah harga diri yang tinggi nilainya. Bermula dari kegagalan, orang Jepang yang menebusnya dengan bunuh diri seakan "membayar" nilai kegagalan tersebut. Bunuh diri bagi mereka melunasi buruknya nilai kegagalan. Di sanalah, nilai bunuh diri dianggap terhormat dan tinggi nilainya di lingkup sosial.
Masyarakat Gunungkidul bukan masyarakat Jepang. Banyak data versi berbagai lembaga yang mungkin bisa menegaskan hal ini. Bila menelusuri bumi bagian timur Yogyakarta, akan begitu banyak terekam kemiskinan yang nyata.

//
Pagi itu, 4 November tahun lalu, 2015, cuaca tampak cerah. Matahari menyirami tanah. Mungkin menembus pori-pori tanah. Semua tanah tampak kering. Apalagi dedaunan, jangan ditanya.
Papan ucapan selamat datang di Pantai Baron melenyapkan kegersangan itu. Meski panas matahari tak mungkin dilawan, setidaknya apa yang dipandang mata bisa menyegarkan. Air lautnya sangat biru. Di sisi kiri tebing menjulang. Di sisi kanan juga berdiri tebing. Deru ombaknya beringas. Sementara di bibir-bibir pantai banyak sampan berlabuh. "Pengunjung dilarang mandi di pantai," begitu tulisan papan peringatan di tepi pantai.
Tebing sisi kanannya sangat terjal. Sedangkan tebing sisi kiri ada jalan setapak. Naik ke tebing ini bayar Rp2.000 per orang. Sesampainya di atas tebing, semua objek di tepi pantainya dapat dilihat dengan kedua bola mata. Dari kejauhan juga tampak tebing-tebing curam lainnya. Satu dua terlihat kapal nelayan di lautan luas. Deras ombaknya menyegarkan, setidaknya menyelimuti dari panas terik.
Masih di tebing, berjalan sedikit ke arah kiri, berdiri kokoh sebuah mercu suar. Tak jauh dari bangunan mercu suar tersebut, tapak pondasi bangunan masih basah. Menurut pedagang setempat, pondasi bangunan itu merupakan bagian pembangunan villa atau tempat penginapan. Sungguh, kelak, saat bangunan jadi, villa ini pasti memiliki daya tarik alam pantai yang menggiurkan. Seperti apa yang sedikit dipaparkan tadi.

//
Satu jam setengah cukup untuk menikmati Pantai Baron. Perjalanan dilanjutkan ke pantai-pantai Gunungkidul lainnya. Hanya dengan tiket Rp10.000, pengunjung bisa menikmati puluhan pantai.
"Di sini cuma Rp10.000 per orang, Mas. Tapi harga segitu udah untuk semua pantai," kata petugas retribusi tiket pantai di Gunungkidul.
Tepat di sebelah Pantai Baron ada Pantai Krakal, Pantai Kukup, Pantai Ngrawe, Pantai Sepanjang, Pantai Drini, Pantai Sanglen, Pantai Nglolang, Pantai Pondok Rangon, Pantai Pewedan Ciut, Pantai Watu Kodok, Pantai Sadranan, dan Pantai Sarangan. Ini semua berada di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul. Dapat dibayangkan, hanya satu kecamatan, ada 13 pantai. Pantai-pantai ini tak jauh berbeda dengan Pantai Baron. Namun, hanya Pantai Baron yang menjadi dermaga sampan para nelayan. Selebihnya, benar-benar objek wisata.
Belum lagi pantai-pantai di kecamatan lainnya, seperti Kecamatan Tepus, Kecamatan Purwosari, Kecamatan Panggang, Kecamatan Saptosari, dan Kecamatan Girisubo. Lebih dari 60 pantai ada di sepanjang pesisir Gunungkidul.
Bahkan, di antara puluhan pantai, masih ada beberapa pantai "perawan". Salah satunya pantai di Kecamatan Girisubo, Pantai Jungwok.

//
Tidak seperti pintu masuk Pantai Baron, Pantai Njungwok tak berplang nama. Di jalan menuju lokasi pantainya hanya ada petunjuk arah. Jalannya pun belum beraspal. Hanya tanah dengan tumpukan batu. Belum ada warung khusus wisatawan, kecuali warung dadakan dari warga sekitar.
Pantainya benar-benar "perawan". Binatang laut masih mudah ditemukan di pesisir pantai. Ada ubur-ubur. Berbagai jenis keong dan kerang laut. Rumput laut. Ada pula landak laut yang tampak sesekali di balik bebatuan.
Sekira 10 meter dari bibir pantai, tebing seperti candi berdiri gagah. Tingginya sekira 5 meter. Untuk menuju tebing tersebut, pengunjung harus berjalan di pantai dengan ketinggian air sekitar 1 meter. Dengan dasar pantainya menuju tebing tersebut berserakan bebatuan. Ombaknya sesekali terbelah oleh tebing.
"Di sini ada paket nyelam, Mas. Lokasinya gak jauh dari pantai. Harganya, nego aja sama instrukturnya. Soalnya di sini sepi wisatawan, jadi harga bisa dinego," kata Yanto, juru parkir dadakan di Pantai Jungwok

//
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Matahari mulai menyelip di balik langit ufuk barat. Waktunya harus kembali ke Kota Yogyakarta.
Dari Pantai Njungwok ke Kota Yogyakarta memakan waktu sekitar 3 jam. Tak masalah, yang penting semua terbayar dengan keindahan pantai setelah menyusuri pantai dari Baron hingga di sini, Pantai Njungwok.
Mesin sepeda motor sudah menyala. Saat berangkat, meninggalkan pantai. Jalanan sudah mulai redup dari matahari. Apalagi harus melewati kebun-kebun yang tampak siang tadi terlihat tandus. Kebun-kebun itu kini ditinggalkan si empunya. Sesekali mata melihat si empu kebun berjalan di waktu senja. Dengan memikul bakul. Entah apa isinya. Entah apa yang mereka garap.
Dari awal meninggalkan pantai, banyak si empu kebun merupakan orang tua. Nenek-nenek dan kakek-kakek. Suatu waktu, berpapasan dengan seorang nenek. Saat itu sepeda motor sengaja melambat, melihat seseorang yang sudah tua berjalan di tengah jalanan nan sepi. Di waktu hampir maghrib.
Pakaiannya kusam. Tak bersandal. Bakulnya berukuran sebahu hingga pinggangnya. Saat disapa, ia membalas dengan senyuman dan berkata, "Monggo, Mas."

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes