Jumat (4/9) malam lalu, Mustofa Bisri,
dikenal dengan panggilan Gus Mus, berseru ihwal dua tipikal manusia. Pertama, kerap berbuat amal, peduli, menghargai
kemanusiaan, tetapi tidak pernah beribadah. Kedua, rajin ibadah tetapi tidak
peduli dengan sesamanya. “Ini dua hal yang sulit kalau ditanya mana yang baik.
Dua pokok persoalan jadi satu,” ujarnya dalam acara Tafakur, Parangtritis,
Bantul, Yogyakarta.
Gus Mus menimpali, hal itu sama saja
dengan pertanyaan, lebih baik mana ber-Tuhan tapi tidak beragama atau beragama
tapi tidak ber-Tuhan. Maksud Gus Mus, beragama tapi tidak ber-Tuhan semacam
agama KTP.
Bagi YB Mangunwijaya, dikenal Romo
Mangun, bangsa ini diarahkan atas dasar keimanan dan ketaqwaan. Pernyataan ini
tertuang di dalam makalah Romo Mangun jelang ajal menjemputnya, 1999, kini
menjadi bagian buku Kata-Kata Terakhir Romo Mangun. Amat tepatlah perumusan salah satu GBHN yang disusun dalam Orde Baru,
bahwa salah satu ciri manusia Indonesia seutuhnya ialah beriman dan bertaqwa.
Tidak disebut: yang beragama (hal 44).
Namun, sayangnya, pernyataan di GBHN itu
tidak sejalan dengan pengajaran di sekolah-sekolah. Selama Orde Baru yang diajarkan kepada pelajar hanyalah
perintah-perintah dan hokum agama. Padahal yang jauh lebih penting daripada
pengenalan hokum agama justru dimensi imannya (hal 44).
Romo Mangun seakan khawatir jika bangsa
ini hanya dikenalkan pada batas hokum agama semata. Baginya, pemahaman iman
merupakan hal dasar untuk menghadapi perkembangan zaman di bawah kendali
teknologi.
Teknologi, sebagai rangkaian dari sain,
tidak perlu dihindari. Di sisi lain, teknologi tidak perlu pula
diagung-agungkan. Ia bagai dua mata sisi uang, bersifat netral dan berpihak. Tidak semua produk iptek terang benderang
kejam dan menakutkan seperti nuklir. Kebanyakan tampak netral-netral saja,
bahkan anugerah dan berkat (hal 32).
Di dalam hal keberpihakannya, teknologi seakan
“menghamba” pada industri. Hampir semua produk teknologi saat ini hidup atas
pergerakan industri. Bahkan, berpihaknya teknologi memberi dampak nilai tambah
bagi negara maju.
Iptek
yang mengabdi kepada industri perang sangat memperkuat dugaan yang berkembang
menjadi tuduhan, bahwa praktiknya, konkret factual, iptek tidaklah netral, akan
tetapi lebih mengabdi kepada para penguasa ekonomi, politik, sosial, dan cultural
daripada melaksanakan yang sudah lama digembar-gemborkan oleh para filsuf
utilitarian dan pragmatis, serta para pemuja liberal sains dan teknologi: “the
greatest good for the greatest number.” (hal 35).
Pada prinsipnya, penulis Burung-Burung Manyar ini tak perlu
memandang teknologi sebagai benda yang harus dimusuhi. Romo mengajak kita
berpikir moderat menghadapi dunia teknologi. Mawas diri perlu, karena teknologi
di bawah kendali industri sejatinya aktualisasi dari ketertindasan manusia.
Di sanalah Romo mangun menganggap
pentingnya pemahaman iman dan taqwa. Bukan sebatas agama. Karena dalam konteks
sosial, muara agama tak lain ialah budi pekerti dan rasa sayang terhadap sesama
dan alam.
Kembali pada Gus Mus, bahwa dua tipikal
manusia itu menunjukkan realitas bangsa. Lantas, mampukah bangsa ini
berkepribadian iman dan taqwa di tengah industri teknologi?
Judul Buku: Kata-Kata Terakhir Romo Mangun
Halaman: 190 halaman
Tahun Terbit: 2014
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.