ARTIKEL PINTASAN

Friday, September 11, 2015

Moderatisasi Teknologi Romo Mangun

Jumat (4/9) malam lalu, Mustofa Bisri, dikenal dengan panggilan Gus Mus, berseru ihwal dua tipikal manusia. Pertama, kerap berbuat amal, peduli, menghargai kemanusiaan, tetapi tidak pernah beribadah. Kedua, rajin ibadah tetapi tidak peduli dengan sesamanya. “Ini dua hal yang sulit kalau ditanya mana yang baik. Dua pokok persoalan jadi satu,” ujarnya dalam acara Tafakur, Parangtritis, Bantul, Yogyakarta.
Gus Mus menimpali, hal itu sama saja dengan pertanyaan, lebih baik mana ber-Tuhan tapi tidak beragama atau beragama tapi tidak ber-Tuhan. Maksud Gus Mus, beragama tapi tidak ber-Tuhan semacam agama KTP.
Bagi YB Mangunwijaya, dikenal Romo Mangun, bangsa ini diarahkan atas dasar keimanan dan ketaqwaan. Pernyataan ini tertuang di dalam makalah Romo Mangun jelang ajal menjemputnya, 1999, kini menjadi bagian buku Kata-Kata Terakhir Romo Mangun. Amat tepatlah perumusan salah satu GBHN yang disusun dalam Orde Baru, bahwa salah satu ciri manusia Indonesia seutuhnya ialah beriman dan bertaqwa. Tidak disebut: yang beragama (hal 44).
Namun, sayangnya, pernyataan di GBHN itu tidak sejalan dengan pengajaran di sekolah-sekolah. Selama Orde Baru yang diajarkan kepada pelajar hanyalah perintah-perintah dan hokum agama. Padahal yang jauh lebih penting daripada pengenalan hokum agama justru dimensi imannya (hal 44).
Romo Mangun seakan khawatir jika bangsa ini hanya dikenalkan pada batas hokum agama semata. Baginya, pemahaman iman merupakan hal dasar untuk menghadapi perkembangan zaman di bawah kendali teknologi.
Teknologi, sebagai rangkaian dari sain, tidak perlu dihindari. Di sisi lain, teknologi tidak perlu pula diagung-agungkan. Ia bagai dua mata sisi uang, bersifat netral dan berpihak. Tidak semua produk iptek terang benderang kejam dan menakutkan seperti nuklir. Kebanyakan tampak netral-netral saja, bahkan anugerah dan berkat (hal 32).
Di dalam hal keberpihakannya, teknologi seakan “menghamba” pada industri. Hampir semua produk teknologi saat ini hidup atas pergerakan industri. Bahkan, berpihaknya teknologi memberi dampak nilai tambah bagi negara maju.
Iptek yang mengabdi kepada industri perang sangat memperkuat dugaan yang berkembang menjadi tuduhan, bahwa praktiknya, konkret factual, iptek tidaklah netral, akan tetapi lebih mengabdi kepada para penguasa ekonomi, politik, sosial, dan cultural daripada melaksanakan yang sudah lama digembar-gemborkan oleh para filsuf utilitarian dan pragmatis, serta para pemuja liberal sains dan teknologi: “the greatest good for the greatest number.” (hal 35).
Pada prinsipnya, penulis Burung-Burung Manyar ini tak perlu memandang teknologi sebagai benda yang harus dimusuhi. Romo mengajak kita berpikir moderat menghadapi dunia teknologi. Mawas diri perlu, karena teknologi di bawah kendali industri sejatinya aktualisasi dari ketertindasan manusia.
Di sanalah Romo mangun menganggap pentingnya pemahaman iman dan taqwa. Bukan sebatas agama. Karena dalam konteks sosial, muara agama tak lain ialah budi pekerti dan rasa sayang terhadap sesama dan alam.

Kembali pada Gus Mus, bahwa dua tipikal manusia itu menunjukkan realitas bangsa. Lantas, mampukah bangsa ini berkepribadian iman dan taqwa di tengah industri teknologi? 


Judul Buku: Kata-Kata Terakhir Romo Mangun
Halaman: 190 halaman
Tahun Terbit: 2014
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes