ARTIKEL PINTASAN

Sunday, September 27, 2015

Mencermati Tuhan dan “Tuhan”

ilustrasi (foto: blogspot)
Ketika saya membaca petunjuk jalan “Awas ada lubang!” tentu saya akan hati. Sebelum melihat lubang, saya tak akan tahu seperti apa kondisi lubang tersebut. Apakah lubang itu kecil, besar, membahayakankah, atau hanya seukuran telapak kaki.
Dalam memahami maksud keberadaan sebuah kata, tentu harus paham asal-muasal terbentuknya kata tersebut. Dengan kata lain, untuk apa kata itu dibuat. Kalau tidak, yang terjadi hanya mereka-reka.
Keseimbangan antara pemahaman tekstual dengan kontekstual itu perlu. Bayangkan jika saya hanya paham teks petunjuk jalan tadi. Apa yang terjadi? Ya, saya hanya mereka-reka besaran lubang dan posisi lubang. Sebaliknya, jika saya menitikberatkan pada makna, maka saya jadi phobia.
Hal ini tak ubahnya pada kasus nama “Tuhan” yang belakangan marak diperbincangkan netizen. Hanya gara-gara seseorang bernama “Tuhan”, lantas orang tersebut disamakan dengan Tuhan sesungguhnya.
Tak cuma netizen, sekelas Ketua MUI Din Syamsudin pun angkat bicara. Tokoh yang katanya intelektual di bidang agama itu menyarankan agar nama tersebut diganti saja atau dibubuhi kata lain. Bukankah pergantian atau perubahan nama orang menyebabkan hal ihwal administrasi juga berubah? Lantas, bagaimana repotnya ia harus mengubah kartu tanda penduduk (KTP), surat izin mengemudi (SIM), akta kelahiran, surat nikah, surat kepemilkan rumah, tanah, kendaraan, hingga harta embel-embel lainnya. Mungkin Din Syamsudin lupa hal ini semua.
Naif bila orang bernama “Tuhan” itu disamakan dengan Tuhan sebenar-benarnya. Penyamaan tak ubahnya akidah ke-Islaman seseorang dipertanyakan. Penyamaan tak ubahnya ilmu tauhid ke-Islamannya juga layak dipertanyakan.
Dalam sejarah Nusantara, kata “Tuhan” berarti sifat kebaikan. Sebaliknya, “Hantu” bersifat keburukan. Kata ini perpaduan dari dua suku kata, “Tu” dan “Han”. Dua kosakata ini merupakan bagian dari kehidupan umat Kapitayan di masa Jawa kuno. “Tu” dimaknai sebagai hal kemagisan atau hal yang bersifat kuat. Karena itu, dalam paparannya pada suatu diskusi, sejarahwan Islam Nusantara, Agus Sunyoto, menejaslakan, di Jawa kuno banyak ditemui kosa kata yang berawal “Tu” untuk menunjukkan kekuatan, seperti “batu”, “tugu”, atau “tuban”.
Jika ditelisik dari pendekatan Islam, abad keenam masehi kata “Allah” telah digunakan banyak suku dan golongan di Arab Jazirah, baik di Madinah maupun pesisir Persia. Sebagian umat mengenal kata “El” untuk memaknai Tuhan. Penggunaannya banyak dipakai orang-orang Yahudi. Begitu pula dengan “Al” yang kini banyak digunakan umat Islam dan Kristen. Kata “Al” berarti esa. Di bahasa Inggris, kata tersebut sepadan dengan kata “The”.
Sesungguhnya kata “Tuhan” bukanlah “milik” umat Islam, melainkan umat Kapitayan. Jika saya mempertahankan nilai sakralitas kata “Tuhan” berarti saya mempertahankan nilai sakralitas umat Kapitan. Dengan demikian, tidak tepat mempertahankan nilai sakralitas kata “Tuhan” demi menjaga kesucian agama Islam atau pun Kristen. Apalagi, bagi umat Islam, kata “Allah Swt” merupakan dua kosakata yang digunakan di dalam kitab suci.
Sungguh saya iba dengan orang bernama “Tuhan” tadi. Dalam wawancara di televisi, ia tampak sopan dan santun berbicara. Lantas saya berpikir bertanya, bagaimana pula dengan orang-orang yang bermana “Muhammad” atau “Ahmad”.
Saya memperkirakan, doa orangtua si “Tuhan” tadi ingin anaknya mendekati sifat-sifat kebaikan Tuhan, asmaul husna. Orangtuanya bukan bermaksud mempersyirik keberadaan anaknya. Tak ubahnya orangtua menamai anaknya dengan “Muhammad”. Mungkin orangtua tersebut ingin anaknya memiliki sifat-sifat kebaikan, kemurahhatian, kedermawanan Nabi Muhammad.
Begitulah memahami nama “Tuhan” tak ubahnya memahami petunjuk jalan tadi. Jika terlalu berat sebelah, yang mungkin terjadi saya akan phobia sebelum melewati lubang atau saya akan terjerumus ke lubang.


Opini dimuat di harian Analisa (Medan)

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes