ARTIKEL PINTASAN

Saturday, December 10, 2011

Mencipta Kultur



Stasiun acara televisi sekarang ini layaknya panggung akrobat ataupun sirkus. Acara televisi beragam menyajikan panggung-panggung yang mengatasnamakan seni. Seni musik, seni tari, hingga seni (konon katanya) tradisional. Penonton dibentuk pasif, tetapi aktif dalam mengapresiasi melalui tepuk tangan dan sorak-sorai. Bukan semata apresiasi dari penonton yang tampak di dalam televisi, secara tidak sadar pun penonton di luar televisi dibentuk untuk mengikuti apresiasi penonton di dalam televisi tersebut.

Lihat saja, penonton-penonton acara musik pada pagi hari. Beberapa stasiun televisi menyajikan penonton ‘bentukan’ seperti itu, yang secara tidak langsung membentuk penonton di luar televisi mengikutinya. Lihat pula acara-acara komedi maupun acara show. Ada penonton yang sengaja dibentuk untuk menambah suasana seakan-akan meriah.

Pertanyaannya adalah, siapakah penonton itu? Ya, tidak lain penonton seperti itu merupakan penonton yang diajak dari luar. Terlepas apakah penonton seperti itu benar-benar dibayar atau tidak (dari pengalaman diskusi saya dengan beberapa teman, penonton seperti itu dibayar. Tetapi saya belum dapat memastikan kebenarannya), yang pasti bahwa penonton itu adalah remaja. Ya, kalangan remaja diajak dengan bujukan akan masuk televisi, seakan-akan televisi mampu menjadi mediumnya untuk menjadi terkenal seperti artis-artis, atau paling akan bertemu dengan artis idolanya. Ada fakta yang saya alami sendiri mengenai hal itu.

Pertama, seorang teman dekat saya, yang bercerita setelah keluar dari kelembagaan dan bercerita dengan nada penyesalan, pernah bercerita tentang pengalaman kelembagaan mahasiswa yang diikutinya. Pada suatu waktu kelembagaan mahasiswanya mengikuti acara show di stasiun televisi Metro TV. Mereka pun pergi menuju Jakarta, dari Jatinangor, dengan menggunakan bus. Mereka diajak untuk memeriahkan acara tersebut dengan cara memberi tepuk tangan sesuai arahan. Di dalam proses acara itu ada seorang kru yang mengarahkan atau memberi aba-aba kapan dan bagaimana saat bertepuk tangan dimulai, bagaimana cara merespon teriakan, dan sebagainya. Setelah acara usai, mereka diberi makan gratis. Makanan yang diberi oleh pihak stasiun televisi dapat dikatakan cukup mewah bagi kalangan mahasiswa. Usailah semua acara tersebut, kemudian mereka kembali ke Jatinangor. Ya, mereka hanya mengikuti acara itu untuk memeriahkan semata agar tampak apresiatif dan berkesan eksekutif karena dihadiri oleh mahasiswa.

Kedua, tidak jauh berbeda dari hal yang pertama, seorang adik angkatan saya bercerita bahwa lembaga perhimpunan jurusan akan menghadiri suatu acara komedi di stasiun Trans7, komedi yang sempat naik daun dan sempat membuat roadshow ke beberapa kota. Dengan bangganya mereka akan berangkat dari Jatinangor ke Jakarta dengan menyewa bus. Mungkin kita semua sudah tahu bahwa penonton yang ada di dalam acara tersebut merupakan penonton yang ‘bentukan’ untuk tertawa, tepuk tangan, dan merespon komedian yang ada di panggung studio.

Kedua fakta di atas menampakkan bahwa mahasiswa kini telah menjadi panggung televisi yang dibentuk oleh pihak televisi. Seperti yang saya singgung di atas, bahwa remaja merupakan ‘kroban’ televisi untuk dijadikan penonton bentukan. Klasifikasi remaja itu, salah satunya, ialah kalangan mahasiswa, yang seharusnya menjadi kalangan yang kritis atas realitas televisi.

Mahasiswa telah kehilangan daya kritisnya dalam kultur seperti itu, kultur yang dibentuk oleh corong budaya pop dan corong konsumtif (televisi). Mahasiswa hanya bisa ikut dipanggung kelompok mahasiswa gerakan semata-mata ingin ‘gaya’, ingin menapak ke jenjang yang lebih baik (batu loncatan) dalam karir politiknya setelah lulus kuliah, dan ingin mengambil sikap pragmatis saja (apakah dapat keuntungan finansial dan keuntungan kedudukan atau tidak) Secara periodik perlahan-lahan pun kelompok gerakan mahasiswa redup.

//

Coba kita perhatikan beberapa kolom opini di media massa. Rata-rata penulisnya berlatar dari dunia kampus (mahasiswa), meski sesungguh itupun bagian dari instruksi dan kebijakan pihak media massa demi mendapatkan nilai jual ke pasar. Melihat fenomena itu dalam waktu sekejab kita patut bangga, karena mahasiswa (seakan-akan) telah berguna bagi kehidupan bangsa dan negaranya, atau secara esensi dikenal sebagai intelektual publik.

Meski tidak semua, kebanyakan tulisan itu mengalami kendala bagi masyarakat luas. Pertama, kendala kebahasaannya. Bahasa yang digunakan terlalu tinggi, dan secara tidak langsung ingin menyatakan bahasa rendah merupakan bahasa murahan bagi mahasiswa. Kedua, referensi tulisannya memuat buku-buku yang sulit diakses dan didapatkan oleh masyarakat.

Penulis-penulis seperti itu kebanyakan hanya mengejar nilai tambah semata. Nilai tambah yang dimaksud ialah nilai tambah uang dan nilai tambah reputasi. Nilai tambah uang ini tidak sepenuhnya disalahkan, terkait dengan cara survive seorang mahasiswa dalam menggunakan daya intelektualitasnya. Nilai tambah reputasi digunakan untuk mencari reward dalam meningkatkan ‘nilai jualnya’ kepada suatu instansi, seperti instansi tertinggi di bidang pendidikan, agar memberikan peluang untuk menaikkan tingkat/golongannya sehingga secara otomatis pula gaji naik.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana tradisi ini terbentuk. Ben Anderson1 pernah mengulas hal ini, mengkritisi peran-peran intelektual publik yang mengaktualisasi ide-ide dan gagasannya di kolom-kolom opini media massa dan panggilan televisi. Semua itu dilakukan oleh intelektual publik (dalam hal ini saya setarakan dengan mahasiswa-mahasiswa yang sering mengisi kolom-kolom opini di media massa) karena tidak adanya perhatian serius dari pemerintah terhadap intelektual seperti itu. Akibatnya, cara pintas seperti itu dilakukan semata-mata demi mempertahankan hidup.

-2011-

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes