ARTIKEL PINTASAN

Saturday, October 17, 2009

Eksistensi Manusia ataas Keberadaan Tuhan dalam Puisi Amuk Karya Sutardji CB

Eksistensi Manusia atas Keberadaan Tuhan dalam Puisi Amuk

Manusia sebagai Mahluk Eksistensialis dalam Pandangan Sartre

Manusia terbentuk dari banyak sel. Sel-sel tersebut membentuk suatu organ hingga berfungsi secara normal. Uraian materi seperti ini menjadi salah satu landasan eksistensialisme. Manusia adalah mahluk tersendiri yang mampu ‘mengadakan’ dirinya sendiri. Tetapi manusia tidak mampu ‘meniadakan’ diri, kecuali ‘meniadakan’ ketidakadaan atau kekosongan.

Eksistensialisme lebih menekankan ‘keadaan’ diri. Tidak mempercayai kekosongan. Manusia hidup bebas, dan hanya kebebasan itu sendiri yang mampu membatasinya. Pernyataan seperti inilah yang dibicarakan oleh filsuf eksistensialisme, Jean Paul Sartre.

Berkaitan dengan kekosongan tersebut, bahwa orang-orang yang berada pada jalur agama merupakan orang-orang yang tidak bebas. Hal ini dimutlakkan oleh Sartre. Artinya, manusia bebas menentukan hidupnya sendiri karena kebebasan ada pada diri manusia. Bila nilai-nilai norma ditentukan oleh agama, kebebasan itu telah musnah.

Manusia sebagai for-itself adalah mahluk yang paling mampu menatap sesuatu dengan hasrat tertentu, maka dia mengantisipasikan citra idealnya sendiri untuk menambah medan sesuatu yang ditatapnya1.


Sense, Salah Satu Hakikat Puisi

Secara teoritis, hakikat puisi terdiri atas empat hal. Keempat hal tersebut adalah tema (sense), rasa (feeling), nada (tone), dan tujuan (intention). Tema merupakan titik permasalahan dari suatu puisi yang dituangkan oleh pengarangnya. Pengarang sebagai manusia memiliki sikap-sikap tertentu, khususnya terhadap titik permasalahan yang ditungkan dalam puisinya. Sikap tersebut merupakan rasa dari hakikat suatu puisi. Tone digunakan oleh pengarang sebagai ‘pemandu’ pembaca, dengan tone pembaca diarahkan melalui sikap yang sugestif, angkuh, rendah hati, dan lain sebagainya. Dan pada suatu sisi, pengarang memiliki ‘tujuan’ dalam puisi yang diciptakannya.

Sense atau tema menjadi hal pokok yang sangat mendasar. Selain pentingnya hakikat suatu puisi, lapis-lapis atau struktur suatu puisi juga menjadi hal penting. Dalam hal ini, hakikat puisi, khususnya sense sangat berkaitan secara keseluruhan pada struktur.

Pengarang akan terfokus oleh satu tema. Imajinasi, yang menjadi salah satu sarana suatu puisi, meskipun cenderung memberikan keliaran berpikir namun tidak dapat terlepas dari tema yang ditentukan.


Sense dalam Amuk, dan Kebebasan Manusia

Amuk, dengan semiotik ekspresinya, yakni suatu ungkapan kemarahan, “ngiau!”. “Ngiau!” merupakan kemarahan kucing. Kemarahan yang diungkapkan melalui suara. Sama halnya seperti anjing yang menggonggong. Suara kemarahan tersebut bukan tanpa alasan (kausalitas). Selain suara, ada bentuk tanda bahasa yang menguatkan hal tersebut. Penguatan hal ekspresi kemarahan diimbuhkan tanda seru (!). Tanda seru mengartikan penegasan, bila secara nada, tanda seru mengalami peninggian. Contohnya, manusia marah cenderung mengekspresikan dengan nada-nada tinggi.


Di awal, pembaca telah diinterpretasikan melalui kata “Ngiau!”. Pembacaan selanjutnya akan lebih memudahkan dalam menyimpulkan suatu sense dari kata tersebut.Setelah mendapatkan titik awal yang berupa ekspresi kemarahan, bait-bait selanjutnya akan ditemukan bentuk sense, yang ‘diterka-terka’ oleh pembacanya. Dalam hal ini, pembaca tidak menempatkan dirinya sebagai pelaku tokoh, melainkan sebagai pembaca, yang menghadapi sebuah teks. Namun, kemarahan tersebut bukan dilakukan oleh seekor binatang melainkan seorang manusia. “Ngiau!” hanya bentuk penganalogian yang dilakukan pengarangnya. Cara seperti ini memberikan suatu sikap pengarang yang rendah hai terhadap pembacanya. Artinya, pembaca tidak melakukan penghakiman terhadap suatu hal yang dilakukan oleh sekelompok manusia. penegasan analogi ini dapat dilihat pada bait keempat:


“tuhan mencipta kucingku tanpa mauku …”


Dari baris ini telah menggambarkan sense puisi yang dimaksud. Konsepsi kata tuhan yang dimaksud oleh pengarang dibedakan secara bentuk penanda. Kata ‘Tuhan’ (menggunakan huruf kapital pada awal kata) dan ‘tuhan’ (menggunakan huruf kecil pada awal kata) yang dapat menjadi acuannya. Bahwa Tuhan yang dikonsepsikan pada suatu kepercayaan menggunakan kata ‘Tuhan’, sementara kata ‘tuhan’ digunakan pada konsepsi penciptaan dan ‘pengusaan yang dilakukan kecuali’ ‘Tuhan’.


Kata yang digunakan oleh pengarang adalah kata yang kedua, ‘tuhan’. Maka, diartikan pada baris tersebut, yang menjadi acuan selanjutnya dalam pembacaan, penguasaan diri manusia dilakukan pada diri sendiri. manusia dapat melakukan suatu hal tanpa ikatan dari Tuhan. ‘tuhan’ dapat bertindak semaunya. ‘tuhan’ dikatakan pada baris tersebut mampu mencipta ‘kucingku’. Tetapi, penguasaan itu dikontradiksikan terhadap ‘mauku’. Selain penggunaan kata ‘tuhan’ dan ‘Tuhan’ yang dilakukan pengarangnya, bentuk-bentuk kata yang sejenis pun digunakan dalam puisi Amuk.


Eksistensi Manusia

Pengungkapan Tuhan sampai ke akar-akar belum mampu dijawab manusia secara ilmiah. Berbagai cara hingga penentuan akhir ‘cara’ adalah melalui kepercayaan. Hal seperti ini, yang dibebaskan dalam puisi Amuk, menjadi representasi ke-Tuhanan.


Nama nama kalian bebas

Carilah tuhan semaumu


Representasi dari baris tersebut mengidetifikasikan ‘kekosongan’ Tuhan. Cara-cara yang ditempuh manusia tidak mencapai titik klimaks tujuan. Artinya, bila tanpa kepercayaan manusia tidak akan mampu ‘menemukan’ Tuhan. Penulis Amuk pun mencoba mengartikan kebebasan manusia terletak pada diri manusia itu sendiri; nama nama kalian bebas. Kata tersebut mengungkap hakikat hubungan manusia dengan konsepsi ke-Tuhanan, bahwa manusia adalah mahluk yang bebas. Pada baris pertama memaknai kebebasan manusia sejak lahir. Sejak manusia lahir dari perut ibunya, manusia itu bebas menentukan namanya. Tidak ada ikatan apapun kecuali manusia itu sendiri yang mengikatnya, seperti baris berikut:


Aku telah berjuta waktu

Mencari menungguMu


Pada baris di tersebut mengungkapkan hal yang mengikat manusia. Aku telah berjuta waktu, yang berarti banyak waktu yang digunakan oleh ‘Aku’. Waktu merupakan bagian unsur kebebasan manusia, namun dengan waktu pula manusia dapat terikat. Karena, waktu tidak dapat digunakan oleh manusia selama waktu itu ada di dunia. Penggunaan waktu itu terletak pada manusia, hingga pilihan-pilihan berbagai hal dalam medium waktu hanya ditentukan oleh manusia itu sendiri.

Jadi, melalui puisi ini penulis melakukan representasi Tuhan. Tetapi, representasi ini bukan menghadirkan ‘keadaan’ tuhan, melainkan ‘kekosongan’ Tuhan. Banyak kelompok-kelompok yang memiliki aliran sebagai cara penelusuran keberadaan Tuhan. Amuk dijadikan simbol kemarahan manusia yang melakukan penelusuran tersebut. Kata ini yang menjadi judul ini membuka ruang awal representasi manusia atas Tuhannya. Dan, makna manusia dalam puisi ini adalah mahluk yang bebas seperti konsepsi eksistensi manusia oleh Sartre.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes